LSI: Sebagian Warga Masih anggap 'Uang Terima Kasih' Sebagai Hal Wajar
Medan, IDN Times - Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei di wilayah Sumatera Utara yang bertajuk “Potret Antikorupsi Sumatera Utara: Hasil Survei Opini Publik dan Survei Pelaku Usaha di Sektor Infrastruktur, Perizinan, dan Kepabeanan”.
Rilis hasil survei diadakan pada Rabu, (6/2) dengan narasumber O.K. Henry (Pemerintah Provinsi Sumatera Utara), Cahyo Pramono (APINDO) dan T.R. Arif Faisal (Sahdar). Presentasi hasil rilis disampaikan oleh Akhmad Khoirul Umam, Ph.D. (Peneliti LSI).
Acara ini dimoderatori oleh Elfenda Ananda.
Berikut hasil surveinya:
1. Warga menilai korupsi di Sumut meningkat dalam dua tahun terakhir
Secara umum, mayoritas warga Sumatera Utara menilai tingkat korupsi meningkat dalam dua tahun terakhir (54%).
Dibandingkan dengan temuan survei 2016 lalu, persepsi warga terhadap meningkatnya korupsi cenderung naik, dari 43% pada 2016 menjadi 54% tahun ini.
"Persepsi warga Sumatera Utara ini relatif sama dengan persepsi publik di tingkat nasional. Saat ini warga paling banyak tahu dengan langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 91%, dan kemudian Presiden 62%," ujar Akhmad Khoirul Umam, Ph.D. selaku Peneliti dari LSI.
Di antara yang tahu, warga juga menilai langkah KPK tersebut dinilai efektif 85%, sementara Presiden 81%. Sedangkan lembaga lain, warga masih banyak yang belum tahu dan masih dinilai kurang efektif.
Menurut warga, pemerintah, terutama pemerintah pusat serius atau sangat serius melawan korupsi (70%). Sementara pemerintah daerah lebih rendah dinilai keseriusannya, yakni pemerintah provinsi (51%) dan pemerintah kabupaten/kota (47%).
Persepsi terhadap luasnya penyebaran korupsi berbeda terhadap pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Warga Sumatera Utara menilai korupsi paling banyak terjadi di pemerintah pusat, lalu menurun hingga yang paling sedikit korupsinya di tingkat desa/kelurahan. Ini menunjukkan bahwa semakin jauh dari warga, pemerintah semakin dinilai korup, dan sebaliknya.
"Kinerja pemerintah dinilai oleh warga Sumatera Utara semakin baik terutama dalam membangun infrastruktur, seperti jalan raya dan pembangkit listrik, dan mengusahakan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, dalam pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi masih perlu ditingkatkan," tambahnya.
2. 30 persen responden menilai 'uang terima kasih' untuk para pejabat pemerintah adalah hal yang wajar
Menurut Akhmad, mayoritas warga Sumatera Utara menilai pemberian uang di luar ketentuan ketika berhubungan dengan dengan instansi pemerintah, baik untuk memperlancar suatu proses atau sebagai 'uang terima kasih' sebagai hal yang tidak wajar (62%).
Dalam dua tahun terakhir, angka ini stagnan.
Akan tetapi, cukup banyak (30%) yang menilai “wajar”.
"Warga di Sumatera Utara memiliki toleransi terhadap pemberian uang yang relatif sama dengan publik di tingkat nasional," ungkapnya.
Mengenai nepotisme, penilaian warga cukup terbelah antara yang menilai negatif dan positif. Penilaian negatif yaitu 32% menganggap tidak etis dan 16% kejahatan. Penilaian positif adalah 30% menganggap normal dan 11% tindakan yang perlu untuk memperlancar proses.
Pada umumnya, warga di Sumatera Utara mengaku tidak pernah menyaksikan korupsi atau suap, demikian pula orang yang mereka kenal secara pribadi (72%). Hanya sekitar 5% pernah menyaksikan dan 7% pernah diceritakan oleh orang yang menyaksikan korupsi.
Akan tetapi, sebetulnya warga cukup berpengalaman berhubungan dengan pegawai pemerintah dalam berbagai layanan publik dan dalam berhubungan tersebut juga terlibat pungli dan gratifikasi dengan derajat yang bervariasi. Hal ini kembali menunjukkan bahwa korupsi masih dipahami sebagai sesuatu yang terjadi di pusat, melibatkan kasus-kasus besar saja.
Sementara suap atau gratifikasi yang dialami warga dalam hubungan dengan pegawai pemerintah dianggap bukan korupsi.
Dalam setahun terakhir, warga paling banyak berurusan dengan petugas pemerintah untuk mengurus kelengkapan administrasi publik (KTP, KK, Akta Kelahiran), memperoleh layanan kesehatan, berurusan dengan pihak sekolah negeri, dan berurusan dengan polisi.
Dalam berurusan dengan pemerintah, probabilitas diminta uang/hadiah di luar biaya resmi paling besar ketika berurusan dengan polisi, kemudian ketika mencari kerja di lembaga pemerintah, dan ketika mengurus kelengkapan administrasi. Sementara probabilitas warga secara proaktif memberi suap tanpa diminta paling banyak ketika mencari kerja di lembaga pemerintah, mengurus kelengkapan administrasi, dan berurusan dengan polisi.
Baik karena diminta maupun tidak, lebih banyak warga yang memberi uang karena alasan kecepatan pelayanan. Namun, ketika memberi tanpa diminta, cukup banyak pula yang beralasan untuk memberi sedekah kepada petugas dan karena sudah terbiasa.
3. KPK jadi lembaga yang paling dipercaya publik saat ini

Berdasarkan hasil survei, mayoritas warga menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab mengatasi korupsi di Indonesia (83%).
KPK tampak menjadi tumpuan warga untuk memberantas korupsi.
KPK adalah lembaga yang paling dipercaya publik saat ini (83%) dan Presiden (75%).
4. Gunakan 380 responden yang dipilih secara acak

Populasi survei ini, kata Akhmad, adalah seluruh WNI di Sumatera Utara yang sudah berumur 19 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.
Jumlah sampel di Sumatera Utara ditetapkan sebanyak 380 responden, yang dipilih secara acak menggunakan metode multistage random sampling.
Dengan asumsi simple random sampling, ukuran sampel 380 responden memiliki toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar ±5.1% pada tingkat kepercayaan 95%.
Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih.
Proses wawancara berlangsung pada 8-24 Oktober 2018. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri dari 10 responden.
Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check).
Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.
Data tren dalam rilis ini diperoleh dari hasil survei 2016 dan 2017. Kedua hasil tersebut diperoleh dari survei yang diselenggarakan oleh lembaga selain LSI, yakni CSIS (2016) dan Polling Center (2017).















